Rabu, 29 April 2009

Fenomena Di Balik Tradisi Money Politik dalam Proses Demokrasi Indonesia Di Kelurahan Dinoyo

BAB I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang
Perjalanan Pemilihan Umum calon anggota legislatif (DPR, DPRD I, DPRD II & DPD) semakin hari semakin seru dan menegangkan. Posisi rakyat semakin hari memiliki nilai tawar yang cukup tinggi. Pertarungan para caleg untuk menggaet dan memiliki suara rakyat semakin menuju puncaknya seiring dengan waktu yang mendekati hari H pemilihan umum pada tanggal 09 April 2009 mendatang. Berbagai macam cara mereka (caleg) lakukan, mulai dari melakukan pertemuan umum, pertemuan khusus, pertemuan di hotel berbintang sampai pertemuan di kolong jembatan. Mulai dengan membagi-bagi semen, sembako, amplop, bahkan sampai dengan mengobral janji-janji gombal dan sumpah serapah yang ke semua itu mereka lakukan semata untuk menggaet hati rakyat.
Disisi yang lain, banyak orang yang menyambut niat baik para caleg tersebut. Hal ini terlihat dari banyaknya tokoh masyarakat dan individu yang berdatangan kepada para caleg untuk menyampaikan keluh kesah kemiskinan yang mereka rasakan, dengan dalih menjadi tim sukses maupun bantuan baik itu olah raga, kesenian, jalan, makam dan bahkan juga tempat ibadah mereka bisikkan kepada para caleg. Sehingga, pada akhirnya terjadi transaksi “deal” antara penjual suara dan pembeli suara. Hal yang demikian ini jelas-jelas telah merusak citra dari pada demokrasi bangsa ini. Praktek money politics banyak dilakukan, tapi kenyataanya banyak orang menyambutnya dengan riang gembira.
Padahal dalam Undang-Undang Pemilu No. 10 tahun 2008 pasal 84 telah di peringatkan bahwa “Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar: memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu (huruf d dan e), dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Hal yang dilakukan oleh para penjual suara dan para pembeli suara di pasar politik, sangat bertentangan dengan peraturan yang ada. Namun sampai saat ini belum ada tindakan yang signifikan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut, bahkan seakan-akan legal-legal saja. Untuk itu, untuk mencegah praktek-praktek money politics yang sudah semakin merajalela, marilah kita bersama-sama saling mengingatkan akan dampak dan bahaya yang luar biasa akibat praktik money politics ini. Dan juga, untuk mencegah terampasnya arti demokrasi yang selama ini sudah mulai kita rasakan.1
Sejumlah pengamat meragukan hasil kualitas pemilu 2009. Hal ini dikarenakan praktek money politic yang semakin merebak sebagai buntut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perolehan suara terbanyak.. Partai politik telah bersekongkol dengan menganggap money politic merupakan hal biasa dan wajar. Sebab, yang terjadi saat ini praktik money politic sudah terdidik dan terkoordinir. Mahkamah Konstitusi (MK) juga dinilai telah berperan melanggengkan praktek money politic ini dengan menetapkan suara terbanyak berbasis individu sebagai pemenang bagi caleg yang akan terpilih nantinya. Hal ini akan membuat caleg akan bersikap pragmatis hanya untuk sekadar memenangkan pemilu tanpa melihat kepentingan rakyat.
Anggapan ini, lanjut dia, secara otomatis juga akan semakin menurunkan kualitas hasil pemilu. KPU dan Panwaslu juga dianggap tidak memiliki ketegasan menindak hal ini. Padahal mereka adalah lembaga yang memiliki otoritas sebagai penyelenggara serta pengawas pemilu. Fenomena yang mungkin terjadi dari imbas putusan MK itu, tambah Arie, adalah caleg terpilih tak lagi berhutang budi kepada parpol. Dalam lima tahun ke depan caleg tak lagi tertarik mengurus parpol, barulah setelah mendekati pemilu, ia kembali lagi masuk ke parpol. “Kalau ini terjadi, buruk sekali”.
Ketua KPU DI Jogyakarta Any Rochyati mengatakan bahwa kategori yang dianggap sebagai praktik money politic masih dalam pembicaraan. “Kalau parpol atau caleg mengadakan bazaar beras murah, apa itu dianggap money politic?,"
Seperti dicontohkan, parpol menjual beras seharga Rp 4,5 ribu, dan ia membelinya juga seharga itu. Dengan tidak mengambil laba dari penjualan beras itu, apakah bisa dikategorikan money politic?. Dari persoalan inilah KPU akan membahasnya lebih lanjut bersama panwaslu, agar tidak terjadi kerancuan pengertian dan kategori money politic.2
Saat ini, Indonesia membutuhkan pergantian elite politik karena kalangan atas yang ada saat ini luar biasa korup. Penegakan hukum saat ini bisa dikatakan terhenti. Namun, format pemilu yang ada saat ini tidak memungkinkan partai kecil dan kandidat perorangan untuk tampil dalam kepemimpinan nasional. Praktis pemilihan presiden mendatang hanya akan didominasi kandidat yang dicukongi kelompok atau grup bisnis tertentu dengan imbal balik yang besar. Para tokoh ini selanjutnya akan memodali para ulama, pendeta, tokoh adat, ormas, dan tokoh hegemoni untuk mendapatkan dukungan konstituen.
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan Masalah
BAB II
Pembahasan

2.1. Proses Terjadinya Money Politic
Hari-hari terakhir masa kampanye Pemilu pada April lalu, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi para calon anggota legislatif (caleg) untuk memikat massa. Termasuk melakukan money politic. Pelanggaran ini dilakukan oleh caleg DPRD Kota Malang dari Partai dan caleg yang tidak perlu disebutkan, pada 5 April lalu. Menurut pemaparan salah satu warga kelurahan Dinoyo Malang tersebut Saat itu Tim Sukses Caleg tersebut membagi-bagikan uang pecahan Rp 25 ribu kepada para kader dan simpatisan anggota partai serta membagi-bagikan uang sebesakb Rp. 25 ribu kepada sebagian warga Jl. MT. Hariyono Gg. 10 itu. Caleg DPRD Kota Malang dengan inisial P tersebut, pada tanggal 4 April lalu di luar jadwal kampanye, membagi-bagikan uang dengan nilai pecahan Rp10 ribu di depan 50 orang ibu-ibu RT 01 Kelurahan Dinoyo, Bahkan tak lupa, Calon Anggota Legislatif tersebut sempat berpesan "Pilih saya ya nanti!".
Perjuangan para caleg untuk bisa merebut kursi wakil rakyat pada pemilu 2009 ini sungguh teramat berat dibanding pemilu-pemilu tahun sebelumnya. Selain harus menyiapkan modal yang lebih besar untuk membiayai sosialisasi dan kampanye, juga harus siap menghadapi aneka sanksi yang akan menjerat dirinya manakala melanggar aturan. Belum lagi persiapan menata mental untuk siap menerima kekalahan dan menghapus harapan berlebihan menjadi wakil rakyat. Kalau tidak, bisa-bisa ia malah menjadi penghuni rumah sakit jiwa (RSJ).
Apalagi, amanah dan tanggngung jawab yang diemban sebagai seorang legislator di tahun mendatang rupanya semakin ketat dan berat. Mereka yang suka mempermainkan amanah, suka dengan uang abu-abu atau uang berbau subhat (tak jelas asal usulnya), termasuk suka menerima gratifikasi, akan semakin terbatasi geraknya. Pun yang akan menjadikan kursi legislatif sebagai mesin pengeruk uang alias sebagai tempat mncri nafkah. Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin semangat bergerilya mencari ‘'perampok'' uang rakyat. Anehnya, para caleg yang konon jumlahnya se-Indonesia mencapai sebelas ribu orang lebih itu begitu bersemangat memburu kursi legislatif.
Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan perolehan kursi legislatif berdasarkan hasil suara terbanyak, para caleg yang semula banyak mengandalkan berkah dari nomor urut, terpaksa harus kerja ekstra keras. Dia yang semula tidak terlalu dikenal oleh konstituennya, terpaksa harus turun menyapa, memaparkan visi misi, dan memberi bantuan. Dengan kata lain, para caleg harus lebih rajin turun ke daerah pemilihannya untuk bertemu sekaligus ngopeni (mengurus) konstituennya. Sebagian caleg ada yang melakukan sosialisasi jauh hari sebelum masa kampanye dimulai. Banyak pula yang baru melakukannya saat masa kampanye pileg dimulai pada 16 Maret 2009 lalu. Mereka yang telah melakukan penggalangan lebih awal, tentu harus mengeluarkan biaya besar. Sebab, mereka harus membiayai pertemuan dengan konstituen. Mulai dari sewa tempat, konsumsi, alat peraga hingga memberi uang hadir, uang transportasi ditambah souvenir. Apalagi, pertemuan seperti itu harus dilakukan beberapa kali dan di beberapa tempat. Tanpa ada uang hadir, transport, uang lelah, hadiah atau souvenir, jangan harap calon pemilih mau datang. Padahal, meski sudah mendapat bantuan dari caleg, belum tentu mereka akan memilihnya. Sebab, di antara mereka juga ada yang menerima bantuan serupa dari caleg lain. Prilaku pragmatis para pemilih ini sebagian menganggap sebagai sesuatu yang wajar dalam memanfaatkan moment akbar pesta demokrasi. Dalam benak para konstituen mungkin berkata, ‘'Kapan lagi kita bisa mempermainkan politisi, masa kita terus yang dipolitisasi oleh dia.''
Padahal, model pemberian uang atau barang dari caleg maupun dari tim sukses caleg yang terjadi dikelurahan di Dinoyo Gang 10 itu sangat tidak mendidik. Selain mencederai sistem demokrasi yang sedang berkembang di negeri kita, pada pemilu-pemilu selanjutnya rakyat dan caleg akan terbiasa melakukan pola seperti itu lagi. Pada masa kampanye para caleg yang paham aturan main, akan lebih hati-hati mengumbar pemberian uang atau barang ke konstituen. Sebab, sanksinya cukup berat. Karena itu, beberapa caleg harus memutar strategi untuk menyiasati larangan money politics itu. Tapi, caleg yang kurang paham aturan main, bisa jadi akan terjerat.
Beberapa kasus dugaan money politics banyak ditemukan oleh Panwas dan sempat mewarnai berita di media massa. Beberapa diantaranya ada yang menyangkut ketua umum partai, salah satu ketua DPP partai besar, caleg dari kalangan artis, dan masih banyak lagi. Nam nada juga yang tidak diketahui oleh panwaslu Kota Malang tersebut seperti yang terjadi di kelurahan Dinoyo tersebut, Ujar “Pak Abdur Rahman” ketika setelah mendapatkan uang dari salah satu Caleg tersebut.
Jadi, meski para caleg ada yang berlimpah uang untuk membiayai kampanyenya, ternyata ia tidak bisa memanfaatkan seenaknya. Terutama bila ingin uangnya diberikan kepada konstituen dengan harapan saat pemilu nanti akan memilh dirinya. Kalau sampai itu terjadi, ia akan terjerat kasus money politics yang sanksinya bisa membatalkan dirinya jadi anggota parlemen. Itupun masih ditambah dengan hukuman penjara dan denda. Dan, sepertinya masalah ini kurang disadari para caleg.
Padahal, pelanggaran dalam bentuk money politics itu telah diatur dalam UU Pemilu Legislatif No. 10/2008 pasal 274. Isinya, pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Selain itu, juga masih dikenai denda paling sedikit Rp 6.000.000 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah). Serta Ddalam kegiatan tersebut caleg tersebut terancam pasal 84 ayat 1 UU No 10 tahun 2008 tentang politik uang dengan ancaman maksimal 2 tahun penjara. Dari Panwaslu sendiri, sehingga caleg yang bersangkutat terancam dicoret dari pencalonannya.

2.2. Dampak yang terjadi Pasca Pileg yang bernuansa Money Politic
Pelaksana yang dimaksud di atas, bisa dari caleg, tim sukses caleg atau jurkam yang ditunjuk parpol. Sanksi lain yang harus diterima caleg apabila pengadilan telah mengeluarkan keputusan berkekuatan hukum tetap, maka keberhasilannya mendapatkan kursi anggota dewan atau DPD akan dibatalkan KPU. Coba bayangkan kalau caleg itu tertangkap Panwas melakukan money politics. Sudah mengeluarkan uang banyak untuk biaya promosi diri dan sosialisasi, masih harus menerima hukuman penjara plus denda lagi. Usahanya menjadi anggota dewan, meski dari kalkulasi suara ia sudah berhasil mendapat kursi, akhirnya tetap tak bisa diduduki. Maka buyarlah semua impian yang didambakan untuk bisa menjadi wakil rakyat. Yang didapat justru hotel prodeo.
Dari sisi mental spiritual, kalau tidak dilandasi dengan iman yang kuat dan tidak siap menerima kekalahan, maka bisa jadi ia mudah stres, atau bahkan ingatannya terganggu alias gila. Kasus seperti ini tidak hanya menimpa caleg yang terlibat money politics kemudian dihukum, tapi juga berpotensi menimpa seluruh caleg. Khususnya caleg yang sudah banyak mengeluarkan uang. Baik uang dari hasil jual tanah, rumah, mobil, uang pensiun ataupun dari jualan aset lain. Apalagi bila uang itu dari hasil utang, bisa tambah parah stresnya.
Jangan heran jika preman, penjudi, atau pemakai narkoba yang sejatinya tak pernah kita harapkan ikut mencalonkan diri sebagai gubernur misalnya. Bayangkan, seandainya sosok seperti preman, penjudi, dan pemakai narkoba menjadi pemimpin di Sumatera Selatan, apa jadi propinsi terkaya sumberdaya alamnya ini di masa mendatang. Ikhlaskah masyarakat Sumatera Selatan jika dipimpin politisi busuk tersebut? Fenomena petualang politik seperti itu kian menjadi kenyataan. Sangat disayangkan bila akhirnya mesyarakat memilihnya menjadi gubernur. Begitulah realitas politik dan wajah politisi Sumsel yang belum lama terlepas dari belenggu kediktaturan. Demokratis di satu sisi dan tidak adal di sisi lain. Maka, hari-hari ini kian banyak orang yang bertanya, apa menfaat demokrasi kalau orang hanya bebas bicara tetapi kepentingannya tidak diperjuangkan? Apa pula manfaat demokrasi kalau politik uang masih terus berjalan, korupsi merajalela? Untuk apa demokrasi bergulir terus jika tidak membawa keringanan pada beban dan derita rakyat kecil ?

2.3. Makna yang terkandung atas kegiatan Money Politic terhadap Proses Demokrasi
Kenyataan menunjukkan bahwa impian politik tidak lebih dari sekedar mitos. Ini terbukti dari jumlah uang yang luar biasa besar digelontorkan oleh beberapa kandidat sampai ratusan miliar rupiah telah terbayar untuk biaya kampanye. Faktanya adalah bahwa demokrasi tidak pernah menepati janjinya. Kuatnya pengaruh uang adalah kecacatan demokrasi. Kondisi obyektif ini menyebabkan hilangnya kepercayaan dari para pemilih terhadap system politik. Partisipasi pemilih menunjukkan penurunan. Ini merupakan salah satu tingkat partisipasi yang rendah. Rakyat biasa pun akhirnya mulai mempertanyakan kenapa pilihan mereka tidak memiliki pengaruh yang berarti dalam sistem politik. Dugaan rakyat terhadap tidak berartinya pilihan mereka pada pemilukada semakin menguat ketika kebijakan politik semakin sulit dibedakan.
Salah satu cara yang paling efektif mendudukkan demokrasi secara baik dan benar,yakni menegakkkan system hukum yang baik dan benar pula. Antara hukum dan demokrasi harus berjalan beriringan. Demokrasi tanpa dibarengi penegakan hukum yang baik dan benar, akan berubah menjadi anarki. Selain penegakan hukum, yang tak kalah pentingnya dalam menciptakan iklim demokrasi yang sehat, memberikan pelajaran kepada masyarakat akan makna demokrsi itu sendiri.
Demokrasi saat ini sudah diartikan juaga sebagai suatu keputusan yang diambil berdasarkan atas kelebihan suara. Sehingga, tidak mengherankan bila selalu timbul perjuangan merebut suara terbanyak. Gus Dur, dalam salah saatu tulisannya mengatakan, suatu pemerintahan yang demokrasi harus ditegakkan melalui tiga pilar utamanya yaitu kedaulatan hukum, persamaan perlakuan kepada semua warga negara di hadapan hukum, dan perlingdungan terhadap hak asasi manusia . Maka pemilukada dan demokrasi adalah salah satu pilar utama dari sebuah demokrasi, kalau tidak dapat disebut yang terutama.Sementara sentralitas, dari posisi pemilu kadang dalam membedakan sistem politik yang demokrasi dan bukan tampak jelas dari beberapa definisi demokrasi yang diajukan oleh Joseph Schumpeter dan kemudian dikenal sebagai mazhab Schumpeterian malahan menempatkan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas danberkala sebagai criteria utama bagi sebuah system politik untuk dapat disebut sebagai sebuah demokrasi.
Dalam khazanah demokrasi kontemporer posisi pemilihan umum memperoleh penguatan. Kajian akademis mengenai demikrasi mengenal dua kategorisasi pemaknaan besar, yaitu konsepsi minimalis dan maksimalis.Demokrasi minimalis atau dalam wacana di Indonesia lebih dikenal dengan peristilahan demokrasi procedural dikenakan kepada system-sistem politik yang melaksankan perubahan kepemimpinan secara regular melalui suatu mekanmisme pemilihan yang berlangsung bebas, terbuka,dan melibatkan massa pemilih yang universal (tanpa pembedaan ras,agama, suku dan gender). Konsepsi maksimalis pelaksanaan pemilihan umum saja tidaklah cukup bagi suatu system politik untuk mendapatkan gelar demokrasi. Karena konsepsi ini (yang di Indonesialebih dikenal dengan peristilahan demokrasi substantive) mensyaratkan penghormatan terhadap hak-hak sipil yang lebih luas dan penghargaan terhadap kaidah-kaidah pluralisme yang mendasar.
Bila ditilik lebih jauh kedua konsepsi tersebut menjadikan pemilihan umum sebagai prasyarat bagi demokrasi. Karenanya sebuah rezim yang menjamin pluralitas dan hak-hak sipil tapi tidak melakukan pergantian kekuasaan secara regular melalui pemilihan umum tidak dapat mengklaim dirinya sebagai sebuah demokrasi. Bicara tentang politik, sejatinya memang hanyalah sebuah permainan. Nyaris tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat mutlak di dalamnya. Yang ada hanyalah dikotomi antara winner dan loser.
Winner dapat diasosiasikan dengan kekuasaan dan perolehan materi yang lebih unggul. Sementara loser identik dengan posisi underdog yang akan senantiasa berada di bawah kendali winner. Sangatlah wajar bila posisi puncak dalam politik selalu menjadi ajang kompetisi dan pertarungan tiada henti. Kita pun tentu telah mahfum bahwa tidak pernah ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik. Keabadian hanyalah menyangkut kepentingan. Sepanjang kepeningan antarpara pihak selalu sama dalam usahanya menggapai puncak kekuasaan, lawan pun dapat bealih peran menjadi kawan dalam bekerja. Hal ini berlaku pula sebaliknya. Celakanya, celah ini dimanfaatkan sebagai peluang untuk merebut kekuasaan dengan cara-cara yang sudah memasuki wilayah grey area. Salah sarunya adalah melalui politik uang (money politics).
Pemilu Legislatif atau pemilu Presiden adalah amanah rakyat untuk melahirkan kepemimpianan daerahyang efektif dan berkualitas dengan memerhatikan secara sungguh-sungguh prinsip demokrasi, persamaan,keadilan, dan kepastian hukum. Menempatkan rakyat sebagai akmtor terpenting dalam setiap proses ataupun tahapan pelaksanaannya. Sesungguhnya intu demokrasi yng kita pahami adalah rakyat itu sendiri. Karena demokraasi merupakan proses politik yang dilakukan atas kehendak menata kehidupannya dalam sebuah masyarakat. Rakyat adalah pelaku utama dalam menyepakati berbagai konsensus dan tata karma aturan main demi tujuan kesejahteraan bersama. Pembatasan aturan main yang diberikan atau ditafsirkaan oleh penyelenggaraan pemilu ada dalam hal ini KPUD memang diperlukan. Sehingga proses demokrasi tidak berlangsung anarkis dan lepas kendali.

Fenomena Di Balik Tradisi Money Politik dalam Proses Demokrasi Indonesia Di Kelurahan Dinoyo

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Perjalanan Pemilihan Umum calon anggota legislatif (DPR, DPRD I, DPRD II & DPD) semakin hari semakin seru dan menegangkan. Posisi rakyat semakin hari memiliki nilai tawar yang cukup tinggi. Pertarungan para caleg untuk menggaet dan memiliki suara rakyat semakin menuju puncaknya krtika waktu telah mendekati pada hari H pemilihan umum pada tanggal 09 April 2009 yang lalu. Berbagai macam cara mereka (caleg) lakukan, mulai dari melakukan pertemuan umum, pertemuan khusus, pertemuan di hotel berbintang sampai pertemuan di kolong jembatan. Mulai dengan membagi-bagi semen, sembako, amplop, bahkan sampai dengan mengobral janji-janji gombal dan sumpah serapah yang ke semua itu mereka lakukan semata untuk menggaet hati rakyat.
Disisi yang lain, banyak orang yang menyambut niat baik para caleg tersebut. Hal ini terlihat dari banyaknya tokoh masyarakat dan individu yang berdatangan kepada para caleg untuk menyampaikan keluh kesah kemiskinan yang mereka rasakan, dengan dalih menjadi tim sukses maupun bantuan baik itu olah raga, kesenian, jalan, pasar, makam dan bahkan juga tempat ibadah mereka bisikkan kepada para caleg. Sehingga, pada akhirnya terjadi transaksi “deal” antara penjual suara dan pembeli suara. Hal yang demikian ini jelas-jelas telah merusak citra dari pada demokrasi bangsa ini. Praktek money Politics banyak dilakukan, seakan-akan Praktek money Politics sudah membudaya disetiap proses demokrasi Indonesia, tapi kenyataanya banyak orang menyambutnya dengan riang gembira.
Padahal dalam Undang-Undang Pemilu No. 10 tahun 2008 pasal 84 telah di peringatkan bahwa “Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar: memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu (huruf d dan e), dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Hal yang dilakukan oleh para penjual suara dan para pembeli suara di pasar Politik, sangat bertentangan dengan peraturan yang ada.
1.2. Rumusan Masalah
Memang dalam setiap proses demokrasi di Indonesia, baik itu pemilihan Legislatif maupun Pemilihan Presiden tidak akan lepas dari adanya Politic Uang (Money Politic) dari setiap partai Politik, sehingga fenomena tersebut seakan-akan sudah mentradisi atau membudaya. Maka dalam observasi atau pengamatan terhadap proses Pemilu Legislatif kemarin dapat dirumuskan Sebagai berikut :
1. Bagaimana Proses Terjadinya Money Politic yang sudah membudaya di tengah proses Demokrasi di Indonesia?
2. Bagaimana Dampak yang terjadi Pasca Pemilu Legislatif yang dikotori dengan praktek Politic uang (Money Politic)?
3. Apa Makna yang terkandung atas kegiatan Money Politic di tengah Proses Demokrasi di Indonesia?

1.3. Tujuan Masalah
Dalam Penyusunan Laporan Observasi pada Fenomena yang memang sedang hangat-hangatnya dibicarakan di setiap proses demokrasi Indonesia bermaksud untuk mengetahui Fenomena sesungguhnya di balik tradisi money politik di tengah proses di Indonesia secara naratif maupun deskriptif, sehingga dapat menjadi suatu bahan pelajaran serta perhatian kita semua demi kemajuan Demokrasi Indonesia Bersih, jujur, amanah dan lancer.Sedangkan yang menjadi tujuan utama dalam pelaporan hasil observasi kali ini adalah:
1. Agar kita mengetahui serta mengevaluasi bagaimana sebenarnya Proses Terjadinya Money Politic yang sudah membudaya di tengan proses Demokrasi di Indonesia
2. Agar kita dapat mengetahui serta mengevaluasi bagaimana Dampak yang terjadi Pasca Pemilu Legislatif yang dikotori dengan praktek Politic uang (Money Politic) di tengan proses Demokrasi di Indonesia
3. Agar kita dapat mengetahui Makna sebenarnya yang terkandung atas kegiatan Money Politic di tengah Proses Demokrasi di Indonesia



BAB II
KAJIAN TEORI

Undang-Undang Pemilu No. 10 tahun 2008 pasal 84 telah di peringatkan bahwa “Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar: memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu (huruf d dan e), dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Hal yang dilakukan oleh para penjual suara dan para pembeli suara di pasar Politic, sangat bertentangan dengan peraturan yang ada. Namun sampai saat ini belum ada tindakan yang signifikan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut, bahkan seakan-akan legal-legal saja. Untuk itu, untuk mencegah praktek-praktek money Politics yang sudah semakin merajalela, marilah kita bersama-sama saling mengingatkan akan dampak dan bahaya yang luar biasa akibat praktik money Politics ini. Dan juga, untuk mencegah terampasnya arti demokrasi yang selama ini sudah mulai kita rasakan.
Sejumlah pengamat meragukan hasil kualitas pemilu 2009. Hal ini dikarenakan praktek money Politic yang semakin merebak sebagai buntut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perolehan suara terbanyak.. Partai Politic telah bersekongkol dengan menganggap money Politic merupakan hal biasa dan wajar. Sebab, yang terjadi saat ini praktik money Politic sudah terdidik dan terkoordinir. Mahkamah Konstitusi (MK) juga dinilai telah berperan melanggengkan praktek money Politic ini dengan menetapkan suara terbanyak berbasis individu sebagai pemenang bagi caleg yang akan terpilih nantinya. Hal ini akan membuat caleg akan bersikap pragmatis hanya untuk sekadar memenangkan pemilu tanpa melihat kepentingan rakyat.
Anggapan ini, lanjut dia, secara otomatis juga akan semakin menurunkan kualitas hasil pemilu. KPU dan Panwaslu juga dianggap tidak memiliki ketegasan menindak hal ini. Padahal mereka adalah lembaga yang memiliki otoritas sebagai penyelenggara serta pengawas pemilu. Fenomena yang mungkin terjadi dari imbas putusan MK itu, tambah Arie, adalah caleg terpilih tak lagi berhutang budi kepada parpol. Dalam lima tahun ke depan caleg tak lagi tertarik mengurus parpol, barulah setelah mendekati pemilu, ia kembali lagi masuk ke parpol. “Kalau ini terjadi, buruk sekali”.
Ketua KPU DI Jogyakarta Any Rochyati mengatakan bahwa kategori yang dianggap sebagai praktik money Politic masih dalam pembicaraan. “Kalau parpol atau caleg mengadakan bazaar beras murah, apa itu dianggap money Politic?,"
Seperti dicontohkan, parpol menjual beras seharga Rp 4,5 ribu, dan ia membelinya juga seharga itu. Dengan tidak mengambil laba dari penjualan beras itu, apakah bisa dikategorikan money Politic?. Dari persoalan inilah KPU akan membahasnya lebih lanjut bersama panwaslu, agar tidak terjadi kerancuan pengertian dan kategori money Politic.
Saat ini, Indonesia membutuhkan pergantian elite Politik karena kalangan atas yang ada saat ini luar biasa korupsi. Penegakan hukum saat ini bisa dikatakan terhenti. Namun, format pemilu yang ada saat ini tidak memungkinkan partai kecil dan kandidat perorangan untuk tampil dalam kepemimpinan nasional. Praktis pemilihan presiden mendatang hanya akan didominasi kandidat yang dicukongi kelompok atau grup bisnis tertentu dengan imbal balik yang besar. Para tokoh ini selanjutnya akan memodali para ulama, pendeta, tokoh adat, ormas, dan tokoh hegemoni untuk mendapatkan dukungan konstituen.














BAB III
ANALISA

2.1. Proses Terjadinya Money Politic yang sudah membudaya di tengah Proses Demokrasi di Indonesia
Hari-hari terakhir masa kampanye Pemilu Legislatif pada April yang lalu, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi para calon anggota legislatif (caleg) untuk memikat massa. Termasuk melakukan money Politic. Pelanggaran ini dilakukan oleh caleg DPRD Kota Malang dari Partai dan caleg yang tidak perlu disebutkan, pada 5 April lalu. Menurut pemaparan salah satu warga kelurahan Dinoyo Malang tersebut Saat itu Tim Sukses Caleg tersebut membagi-bagikan uang pecahan Rp 25 ribu kepada para kader dan simpatisan anggota partai serta membagi-bagikan uang sebesar Rp. 25 ribu kepada sebagian warga Jl. MT. Hariyono Gg. 10 itu. Caleg DPRD Kota Malang dengan inisial P tersebut, pada tanggal 4 April lalu di luar jadwal kampanye, membagi-bagikan uang dengan nilai pecahan Rp10 ribu di depan 50 orang ibu-ibu RT 01 Kelurahan Dinoyo, Bahkan tak lupa, Calon Anggota Legislatif tersebut sempat berpesan "Pilih saya ya nanti!".
Perjuangan para caleg untuk bisa merebut kursi wakil rakyat pada pemilu 2009 ini sungguh teramat berat dibanding pemilu-pemilu tahun sebelumnya. Selain harus menyiapkan modal yang lebih besar untuk membiayai sosialisasi dan kampanye, juga harus siap menghadapi aneka sanksi yang akan menjerat dirinya manakala melanggar aturan. Belum lagi persiapan menata mental untuk siap menerima kekalahan dan menghapus harapan berlebihan menjadi wakil rakyat. Kalau tidak, bisa-bisa ia malah menjadi penghuni rumah sakit jiwa (RSJ).
Apalagi, amanah dan tanggngung jawab yang diemban sebagai seorang legislator di tahun mendatang rupanya semakin ketat dan berat. Mereka yang suka mempermainkan amanah, suka dengan uang abu-abu atau uang berbau subhat (tak jelas asal usulnya), termasuk suka menerima gratifikasi, akan semakin terbatasi geraknya. Pun yang akan menjadikan kursi legislatif sebagai mesin pengeruk uang alias sebagai tempat mncri nafkah. Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin semangat bergerilya mencari ‘'perampok'' uang rakyat. Anehnya, para caleg yang konon jumlahnya se-Indonesia mencapai sebelas ribu orang lebih itu begitu bersemangat memburu kursi legislatif.
Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan perolehan kursi legislatif berdasarkan hasil suara terbanyak, para caleg yang semula banyak mengandalkan berkah dari nomor urut, terpaksa harus kerja ekstra keras. Dia yang semula tidak terlalu dikenal oleh konstituennya, terpaksa harus turun menyapa, memaparkan visi misi, dan memberi bantuan. Dengan kata lain, para caleg harus lebih rajin turun ke daerah pemilihannya untuk bertemu sekaligus ngopeni (mengurus) konstituennya. Sebagian caleg ada yang melakukan sosialisasi jauh hari sebelum masa kampanye dimulai. Banyak pula yang baru melakukannya saat masa kampanye pileg dimulai pada 16 Maret 2009 yang lalu. Mereka yang telah melakukan penggalangan lebih awal, tentu harus mengeluarkan biaya besar. Sebab, mereka harus membiayai pertemuan dengan konstituen. Mulai dari sewa tempat, konsumsi, alat peraga hingga memberi uang hadir, uang transportasi ditambah souvenir. Apalagi, pertemuan seperti itu harus dilakukan beberapa kali dan di beberapa tempat. Tanpa ada uang hadir, transport, uang lelah, hadiah atau souvenir, jangan harap calon pemilih mau datang. Padahal, meski sudah mendapat bantuan dari caleg, belum tentu mereka akan memilihnya. Sebab, di antara mereka juga ada yang menerima bantuan serupa dari caleg lain. Prilaku pragmatis para pemilih ini sebagian menganggap sebagai sesuatu yang wajar dalam memanfaatkan moment akbar pesta demokrasi. Dalam benak para konstituen mungkin berkata, ‘'Kapan lagi kita bisa mempermainkan politisi, masa kita terus yang dipolitisasi oleh dia.''
Padahal, model pemberian uang atau barang dari caleg maupun dari tim sukses caleg yang terjadi dikelurahan di Dinoyo Gang 10 itu sangat tidak mendidik. Selain mencederai sistem demokrasi yang sedang berkembang di negeri kita, pada pemilu-pemilu selanjutnya rakyat dan caleg akan terbiasa melakukan pola seperti itu lagi. Pada masa kampanye para caleg yang paham aturan main, akan lebih hati-hati mengumbar pemberian uang atau barang ke konstituen. Sebab, sanksinya cukup berat. Karena itu, beberapa caleg harus memutar strategi untuk menyiasati larangan money Politics itu. Tapi, caleg yang kurang paham aturan main, bisa jadi akan terjerat.
Beberapa kasus dugaan money Politic banyak ditemukan oleh Panwas dan sempat mewarnai berita di media massa. Beberapa diantaranya ada yang menyangkut ketua umum partai, salah satu ketua DPP partai besar, caleg dari kalangan artis, dan masih banyak lagi. Namun ada juga yang tidak diketahui oleh panwaslu Kota Malang tersebut seperti yang terjadi di kelurahan Dinoyo tersebut, Ujar “Pak Abdur Rahman” ketika setelah mendapatkan uang dari salah satu Caleg tersebut.
Jadi, meski para caleg ada yang berlimpah uang untuk membiayai kampanyenya, ternyata ia tidak bisa memanfaatkan seenaknya. Terutama bila ingin uangnya diberikan kepada konstituen dengan harapan saat pemilu nanti akan memilih dirinya. Kalau sampai itu terjadi, ia akan terjerat kasus money Politic yang sanksinya bisa membatalkan dirinya jadi anggota parlemen. Itupun masih ditambah dengan hukuman penjara dan denda. Dan, sepertinya masalah ini kurang disadari para caleg.
Padahal, pelanggaran dalam bentuk money Politic itu telah diatur dalam UU Pemilu Legislatif No. 10/2008 pasal 274. Isinya, seperti Yang terjadi di kelurahan Dinoyo tepatnya jalan MT. Hariyono Gang 10, pelaksana kampanye terselubung yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Selain itu, juga masih dikenai denda paling sedikit Rp 6.000.000 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah). Serta Ddalam kegiatan tersebut caleg tersebut terancam pasal 84 ayat 1 UU No 10 tahun 2008 tentang Politic uang dengan ancaman maksimal 2 tahun penjara. Dari Panwaslu sendiri, sehingga caleg yang bersangkutat terancam dicoret dari pencalonannya.



2.2. Dampak yang terjadi Pasca Pemilu Legislatif yang dikotori dengan praktek Politic uang (Money Politic)
Pelaksana yang dimaksud di atas, bisa dari caleg, tim sukses caleg atau jurkam yang ditunjuk parpol. Sanksi lain yang harus diterima caleg apabila pengadilan telah mengeluarkan keputusan berkekuatan hukum tetap, maka keberhasilannya mendapatkan kursi anggota dewan atau DPD akan dibatalkan KPU. Coba bayangkan kalau caleg itu tertangkap Panwas melakukan money Politics. Sudah mengeluarkan uang banyak untuk biaya promosi diri dan sosialisasi, masih harus menerima hukuman penjara plus denda lagi. Usahanya menjadi anggota dewan, meski dari kalkulasi suara ia sudah berhasil mendapat kursi, akhirnya tetap tak bisa diduduki. Maka buyarlah semua impian yang didambakan untuk bisa menjadi wakil rakyat. Yang didapat justru hotel prodeo.
Dari sisi mental spiritual, kalau tidak dilandasi dengan iman yang kuat dan tidak siap menerima kekalahan, maka bisa jadi ia mudah stres, atau bahkan ingatannya terganggu alias gila. Kasus seperti ini tidak hanya menimpa caleg yang terlibat money Politics kemudian dihukum, tapi juga berpotensi menimpa seluruh caleg. Khususnya caleg yang sudah banyak mengeluarkan uang. Baik uang dari hasil jual tanah, rumah, mobil, uang pensiun ataupun dari jualan aset lain. Apalagi bila uang itu dari hasil utang, bisa tambah parah stresnya.
Jangan heran jika preman, penjudi, atau pemakai narkoba yang sejatinya tak pernah kita harapkan ikut mencalonkan diri sebagai gubernur misalnya. Bayangkan, seandainya sosok seperti preman, penjudi, dan pemakai narkoba menjadi pemimpin di Sumatera Selatan, apa jadi propinsi terkaya sumber daya alamnya ini di masa mendatang. Ikhlaskah masyarakat Sumatera Selatan jika dipimpin politisi busuk tersebut? Fenomena petualang Politic seperti itu kian menjadi kenyataan. Sangat disayangkan bila akhirnya masyarakat memilihnya menjadi gubernur. Begitulah realitas Politic dan wajah politisi Sumsel yang belum lama terlepas dari belenggu kediktatoran. Demokratis di satu sisi dan tidak ada di sisi lain. Maka, hari-hari ini kian banyak orang yang bertanya, apa manfaat demokrasi kalau orang hanya bebas bicara tetapi kepentingannya tidak diperjuangkan? Apa pula manfaat demokrasi kalau Politic uang masih terus berjalan, korupsi merajalela? Untuk apa demokrasi bergulir terus jika tidak membawa keringanan pada beban dan derita rakyat kecil ?

2.3. Makna yang terkandung atas kegiatan Money Politic terhadap Proses Demokrasi Indonesia
Kenyataan menunjukkan bahwa impian Politic tidak lebih dari sekedar mitos. Ini terbukti dari jumlah uang yang luar biasa besar digelontorkan oleh beberapa kandidat sampai ratusan miliar rupiah telah terbayar untuk biaya kampanye. Faktanya adalah bahwa demokrasi tidak pernah menepati janjinya. Kuatnya pengaruh uang adalah kecacatan demokrasi. Kondisi obyektif ini menyebabkan hilangnya kepercayaan dari para pemilih terhadap system Politic. Partisipasi pemilih menunjukkan penurunan. Ini merupakan salah satu tingkat partisipasi yang rendah. Rakyat biasa pun akhirnya mulai mempertanyakan kenapa pilihan mereka tidak memiliki pengaruh yang berarti dalam sistem Politic. Dugaan rakyat terhadap tidak berartinya pilihan mereka pada pemilukada semakin menguat ketika kebijakan Politic semakin sulit dibedakan.
Salah satu cara yang paling efektif mendudukkan demokrasi secara baik dan benar,yakni menegakkkan system hukum yang baik dan benar pula. Antara hukum dan demokrasi harus berjalan beriringan. Demokrasi tanpa dibarengi penegakan hukum yang baik dan benar, akan berubah menjadi anarki. Selain penegakan hukum, yang tak kalah pentingnya dalam menciptakan iklim demokrasi yang sehat, memberikan pelajaran kepada masyarakat akan makna demokrsi itu sendiri.
Demokrasi saat ini sudah diartikan juaga sebagai suatu keputusan yang diambil berdasarkan atas kelebihan suara. Sehingga, tidak mengherankan bila selalu timbul perjuangan merebut suara terbanyak. Gus Dur, dalam salah satu tulisannya mengatakan, suatu pemerintahan yang demokrasi harus ditegakkan melalui tiga pilar utamanya yaitu kedaulatan hukum, persamaan perlakuan kepada semua warga negara di hadapan hukum, dan perlingdungan terhadap hak asasi manusia . Maka pemilu dan demokrasi adalah salah satu pilar utama dari sebuah demokrasi, kalau tidak dapat disebut yang terutama.Sementara sentralitas, dari posisi pemilu kadang dalam membedakan sistem Politic yang demokrasi dan bukan tampak jelas dari beberapa definisi demokrasi yang diajukan oleh Joseph Schumpeter dan kemudian dikenal sebagai mazhab Schumpeterian malahan menempatkan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas danberkala sebagai criteria utama bagi sebuah system Politic untuk dapat disebut sebagai sebuah demokrasi.
Dalam khazanah demokrasi kontemporer posisi pemilihan umum memperoleh penguatan. Kajian akademis mengenai demikrasi mengenal dua kategorisasi pemaknaan besar, yaitu konsepsi minimalis dan maksimalis.Demokrasi minimalis atau dalam wacana di Indonesia lebih dikenal dengan peristilahan demokrasi procedural dikenakan kepada system-sistem Politic yang melaksankan perubahan kepemimpinan secara regular melalui suatu mekanmisme pemilihan yang berlangsung bebas, terbuka,dan melibatkan massa pemilih yang universal (tanpa pembedaan ras, agama, suku dan gender). Konsepsi maksimalis pelaksanaan pemilihan umum saja tidaklah cukup bagi suatu system Politic untuk mendapatkan gelar demokrasi. Karena konsepsi ini (yang di Indonesialebih dikenal dengan peristilahan demokrasi substantive) mensyaratkan penghormatan terhadap hak-hak sipil yang lebih luas dan penghargaan terhadap kaidah-kaidah pluralisme yang mendasar.
Bila ditilik lebih jauh kedua konsepsi tersebut menjadikan pemilihan umum sebagai prasyarat bagi demokrasi. Karenanya sebuah rezim yang menjamin pluralitas dan hak-hak sipil tapi tidak melakukan pergantian kekuasaan secara regular melalui pemilihan umum tidak dapat mengklaim dirinya sebagai sebuah demokrasi. Bicara tentang Politic, sejatinya memang hanyalah sebuah permainan. Nyaris tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat mutlak di dalamnya. Yang ada hanyalah dikotomi antara winner dan loser.
Winner dapat diasosiasikan dengan kekuasaan dan perolehan materi yang lebih unggul. Sementara loser identik dengan posisi underdog yang akan senantiasa berada di bawah kendali winner. Sangatlah wajar bila posisi puncak dalam Politic selalu menjadi ajang kompetisi dan pertarungan tiada henti. Kita pun tentu telah mahfum bahwa tidak pernah ada kawan atau lawan yang abadi dalam Politic. Keabadian hanyalah menyangkut kepentingan. Sepanjang kepeningan antarpara pihak selalu sama dalam usahanya menggapai puncak kekuasaan, lawan pun dapat bealih peran menjadi kawan dalam bekerja. Hal ini berlaku pula sebaliknya. Celakanya, celah ini dimanfaatkan sebagai peluang untuk merebut kekuasaan dengan cara-cara yang sudah memasuki wilayah grey area. Salah sarunya adalah melalui Politic uang (money Politics).
Pemilu Legislatif atau pemilu Presiden adalah amanah rakyat untuk melahirkan kepemimpianan daerah yang efektif dan berkualitas dengan memerhatikan secara sungguh-sungguh prinsip demokrasi, persamaan,keadilan, dan kepastian hukum. Menempatkan rakyat sebagai aktor terpenting dalam setiap proses ataupun tahapan pelaksanaannya. Sesungguhnya intu demokrasi yng kita pahami adalah rakyat itu sendiri. Karena demokraasi merupakan proses Politic yang dilakukan atas kehendak menata kehidupannya dalam sebuah masyarakat. Rakyat adalah pelaku utama dalam menyepakati berbagai konsensus dan tata karma aturan main demi tujuan kesejahteraan bersama. Pembatasan aturan main yang diberikan atau ditafsirkaan oleh penyelenggaraan pemilu ada dalam hal ini KPUD memang diperlukan. Sehingga proses demokrasi tidak berlangsung anarkis dan lepas kendali.
















BAB IV
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Undang-Undang Pemilu No. 10 tahun 2008 pasal 84 telah di peringatkan bahwa “Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar: memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu (huruf d dan e), dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”
2. Kampanye Pemilu Legislatif pada April yang lalu, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi para calon anggota legislatif (caleg) untuk memikat massa dengan membagi-bagikan uang pecahan Rp 25 ribu kepada para kader dan simpatisan anggota partai serta membagi-bagikan uang sebesar Rp. 25 ribu kepada sebagian warga Jl. MT. Hariyono Gg. 10 itu. Caleg DPRD Kota Malang dengan inisial P tersebut, pada tanggal 4 April lalu di luar jadwal kampanye, membagi-bagikan uang dengan nilai pecahan Rp10 ribu di depan 50 orang ibu-ibu RT 01 Kelurahan Dinoyo, Bahkan tak lupa, Calon Anggota Legislatif tersebut sempat berpesan "Pilih saya ya nanti!".
3. Dampak yang akan terjadi Pasca Pemilu Legislatif yang dikotori dengan praktek Politic uang (Money Politic), dari sisi mental spiritual, kalau tidak dilandasi dengan iman yang kuat dan tidak siap menerima kekalahan, maka bisa jadi ia mudah stres, atau bahkan ingatannya terganggu alias gila. Dan Jangan heran jika preman, penjudi, atau pemakai narkoba yang sejatinya tak pernah kita harapkan ikut mencalonkan diri sebagai gubernur karena mereka mempunyai uang banyak, apa jadinya negara kita ini.
4. Kenyataan menunjukkan bahwa impian Politic tidak lebih dari sekedar mitos. Ini terbukti dari jumlah uang yang luar biasa besar digelontorkan oleh beberapa kandidat calon peserta pemilu sampai ratusan miliar rupiah telah terbayar untuk biaya kampanye. Faktanya adalah bahwa demokrasi tidak pernah menepati janjinya. Kuatnya pengaruh uang adalah kecacatan demokrasi. Pertanyaanya ketika calon-calon pemimpin negeri ini bertindak seperti itu, apakah Indonesia bias dkatakan Negara Demokrasi
3.2. Saran
1. Dari pemaparan hasil Observasi di atas, mengisyaratkan pada kita semua bahwa proses demokrasi di Indonesia ini memang belum berjalan secara utuh, dengan adanya beberapa kasus Praktek money politic yang sudah mentradisi di setiap proses pesta demokrasi Indonesia, maka penulis berharap, hal ini merupakan bisa dijadikan sebagai pelajaran yang besar bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menumpas praktek-praktek yang memang tidak kita harapkan bersama.
2. Ketika kita telah mengetahui hal yang terjadi selama ini, dalam proses Demokrasi Indonesia, maka penulis berharap, praktek yang selama ini dilakukan oleh orang yang memang dalam hal ini kurang bertanggung jawab akan nasib bangsa kita, kita sebagai generasi penerus bangsa ini sepatutnya, sewajarnya dan seharusnya menjauhi tindakan-tindakan tersebut yang cacat hukum, sehingga kedepan Indonesia akan menjadi negara yang adil dan makmur.















Referensi

Money Politic Ok, Rakyat Menyambut, SPdT, Sunaryo, Bandung
By Radar Jogya 23 Maret 2009
By Interview warga Dinoyo

Template by : kendhin x-template.blogspot.com